Thursday, October 18, 2012


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.   Pengertian
Uji klinis adalah salah satu jenis penelitian eksperimental, terencana yang dilakukan pada manusia dimana peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subjek penelitian kemudian efek dari penelitian tersebut diukur dan di analisis.
B.   Penggunaan
Uji klinis dilakukan untuk membandingkan satu jenis pengobatan dengan pengobatan lainnya dalam hal ini pengobatan dapat berarti medikamentosa, perasat beda, terapi psikologis, diet, akupuntur, pendidikan atau intervensi kesehatan masyarakat dan lain-lain. Uji klinis pada dasarnya merupakan satu rangkaian proses pengembangan pengobatan baru. Uji klinis dibagi dalam 2 tahapan, yaitu:
1.    Tahapan 1
Pada tahapan ini dilakukan penelitian laboratorium yang disebut juga sebagai uji pre-klinis, dikerjakan in vitro dengan menggunakan benatan percobaan. Tujuan penelitian tahapan 1 ini adalah untuk mengumpulkan informasi farmakologi dan toksikologi dalam rangka untuk mempersiapkankan penelitian selanjutnya yakni dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitan
2.    Tahapan 2
Pada uji klinis tahapan 2, digunakan manusia sebagai subjek penelitian. Tahapan ii berdasarkan tujuannya dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu:
·         Fase 1 :bertujuan untuk meneliti keamanan serta toleransi pengobatan, dengan mengikutsertakan 20-100 orang subjek penelitian.
·         Fase II : bertujuan untuk menilai system atau dosis pengobatan yang paling efektif, biasanya dilaksanakan dengan mengikutsertakan sebanyak 100-200 subjek penelitian.
·         Fase III : bertujuan untuk mengevaluasi obat atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada (pengobatan standal). Uji klinis yang banyak dilakukan termasuk dalam fase ini. Baku emas uji klinis fase III adalah uji klinis acak terkontrol.
·         Fase IV :  bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah dipakai dimasyarakat dalam jangka waktu yang relative lama (5 tahun atau lebih). Fase ini penting karena terdapat kemungkinan efek samping obat timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini disebut juga sebagai uji klinis pascapasar (post marketing).
C.   Desain Uji klinis
Pada uji klinis dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara variable bebas (predictor) dengan variabel tergantung (efek) dalam periode waktu tertentu. Hasil uji klinis ditentukan berdasarkan atas perbedaan efek yang terjadi pada kelompok perlakuan dengan pada kelompok control. Efek yang dinilai dapat merupakan kematian, kejadian klinis ataupun hasil laboratorium dan dapat berskala nominal, ordinal ataupun numeric.
Uji klinis sesungguhnya sangat mirip dengan studi kohort, karena kelompok perlakuan dan kontrol diikuti diobservasi sampai terjadi efek. Perbedaanya, pada uji klinis baik alokasi subyek maupun metode perlakuan pada subyek di tentukan ole peneliti, untuk memastikan bahwa kedua kelompok subyek sebanding dengan sesedikit mungkin bias. Sedangkan pda studi kohort, peneliti hanya melakukan observasi tanpa membererikan perlakuan; perbedaan pajanan pada kelompok yang diteliti dan  kelompok kontrol terjadi secara alamiah.
Terdapat pelbagai bentuk desain uji klinis,dari yang sederhana sampai yang sangat rumit. Di sini dikemukakan 2 desain yang paling sering digunakan, yakni:
1.    Desain paralel, merupakan perbandingan antar kelompok (group comparison), dapat bersifat pasangan serasi (matched pairs) atau bukan.
2.    Desain menyilang (cross-over design)


DESAIN PARALEL
            Jenis desain ini paling banyak digunakan, baik pada penyakit akut maupun kronik. Pada desain ini disusun dua kelompok atau lebih, sedangkan pengobatan pada kelompok-kelompok tersebut dilakukna secara paralel atau simultan. Yang paling banyak dilakukan adalah desain paralel dengan dua kelompok; kelompok pertama memperoleh pengobatan baru, sedangkan kelompok lainnya menerima pengobatan standar dan berlaku sebagai kontrol.
            Untuk memperoleh hasil yang sahih diperlukan kelompok yang seimbang, terutama dalam hal faktor prognosis yang penting. Untuk tujuan ini cara yang sering digunakan adalah:
·         Dengan melakukan randomisasi
·         Dengan pemilihan pasangan serasi (matching)
Dengan kedua cara tersebut diharapkan bahwa pada kedua kelompok semua variabel akan menjadi sama atau sebanding, kecuali variabel perlakuan. Dengan demikian bila pada akhir penelitian terjadi perbedaan efek pada kedua kelompok, maka penyebab perbedaan tersebut adalah akibat perlakuan yang diberikan. Desain paralel tanpa matching lebih sering digunakan, karena pada desain dengan matching untuk mencari subyek yang serasi dalam pelbagai variabel prognosis yang mungkin berperan seringkali sangat sulit.
DESAIN MENYILANG
            Dalam desain ini tiap subyek menjadi kontrol bagi dirinya. Bentuk yang paling sederhana dengan subyek sebagai kontrol bagi dirinya sendiri ini disebut sebagai desain before and after sekelompok subyek diberikan perlakuan, hasil perlakuan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pada desain menyilang subyek di randomisasi; kelompok A menerima obat yang diteliti; kelompok B menjadi kontrol. Setelah waktu tertentu, jenis pengobatan dipertukarkan, dan sebaliknya. Desain ini di terapkan pada penyakit kronik yang relatif stabil seperti hipertensi, asma, hiperlipidemia. Keuntungannya adalah dapat menyingkirkan variasi individu hingga lebih peka menemukan perbedaan, dan mengurangi subyek yang diperlukan (separuh dari desain paralel). Namun waktu penelitian menjadi lebih lama dengan kemungkinan drop out yang lebih besar pula.
`           Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada desain cross-over.
a.    Terdapatnya efek carry over yaitu efek obat pertama belum hilang pada saat dimulai pengobatan kedua.
b.    Terdapatnya efek order, yaitu terjadi perubahan derajat berat penyakit, keadaan lingkungan selama penelitian berlangsung.
c.    Terdapatnya periode wash out yaitu waktu untuk menghilangkan efek obat awal, sebelum pengobatan kedua dimulai. Lama periode wash out ini bergantung kepada sifat kinetik obat, dapat hanya beberpa jam (misal dopamin) atau beberapa minggu ( misal fenobarbital).
D.   LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN UJI KLINIS
Terdapat 8 langkah dalam uji klinis, yaitu:
1.    Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis
2.    Menentukan desain uji klinis yang sesuai
3.    Menetapkan subyek penelitian
4.    Mengukur variabel data dasar
5.    Melakukan randomisasi
6.    Melaksanakan perlakuan
7.    Mengukur variabel efek
8.    Menganalisis data
1. Menetapkan Pertanyaan Penelitian Dan Hipotesis
      Menuangkan desain uji klinis yang samar-samar menjadi rencana kegiatan yang nyata tidak mudah, bahkan sangat kmopleks. Konsep awal yang berisi skema umum, memerlukan penjabaran lebih spesifik. Rumusan masalah serta hipotesis yang sesuai harus dituliskan, dengan memperlihatkan hubungan antar variabel yang diteliti.
2. Menentukan Desain
      Berdasarkan hipotesis yang dibangun dari pertanyaan penelitian, maka dapat ditetapkan jenis desain yang akan dipergunakan, apakah akan dipakai desain paralel atau desain menyilang, ataukah dengan desain lain yang lebih kompleks. Dalam praktek, bilamana mungkin desain yang dipilih adalah desain yang paling sederhana yang dapat menjawab pertanyaan penelitian, karena biasanya desain yang sederhana memberikan hasil yang  lebih langsung dan mudah diinterpretasi, sedangkan desain yang lebih kompleks sering memberikan hasil yang tidak mudah diinterpretasi oleh sebagian besar klinikus.
3. Menetapkan Subyek Penelitian
a.    Menetapkan Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah bagian dari populasi target yang merupakan sumber subyek yang akan diteliti. Karakteristik subyek harus sesuai dengan pertanyaan penelitian dan efek yang akan diamati. Pada rncan uji klinis tentang manaat antibiotik baru terhadap sepsis neonaturum, misalnya, populasi terjangkaunya adalah bayi dengan sepsis yang dirawat dalam kurun waktu yang tersedia.
b.     Menetukan Kriteria Pemilihan=Eligibility Criteria
Kriteria pemilihan membatasi karakteristik populasi terjangkau yang    memenuhi persyaratn untuk uji klinis. Kriteria ini harus dijelaskan secara rinci sejak awal perencanaan, oleh karena penting untuk menyusun desain  penelitian, pemilihan subjek, dan untuk generalisasi ke dalam populasi. Kriteria pemilihan terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
                      Kriteria Inklusi (Kriteria Penerimaan)
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus di penuhi oleh subyek agar dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Persyaratan pada kriteria inklusi biasanya mencakup karakteristik klinis, demografis, geografis dan periode waktu.
Dalam menetapkan kriteria inklusi harus diperhitungkan kemampulaksanaan serta kemungkinan untuk generalisasi, serta spesifitas yang diperlukan. Kriteria inklusi yang amat longgar akan mempermudah mendapatkan subyek penelitian dan lebih mudah menggenaralisasi ke dalam populasi, namun akan dijumpai subyek yang sangat heterogen. Dalam uji klinis untuk pasien pertusis, apabila kriteria inklusi hanya menetapkan semua anak dengan pertusis, maka akan diperoleh kasus dari neonatus sampai remaja. Sebaliknya bila kriteria inklusi dibuat terlalu ketat maka akan diperoleh pasien yang homogen, namun akan sulit untuk memperoleh kasus, dan sulti untuk melakukan generalisasi. Pada studi sindrom gangguan nafas pada neonatus, bila dibuat kriterian inklusi: neonatus kurang bulan yang menderita sindrom gangguan nafas tetapi tidak menderita sepsis, diare, ikterus dan seterusnya, maka sulit untuk memperoleh kasus yang diteliti. Generalisasi hasil penelitian menjadi sulit, oleh karena dalam kenyataan sehari-hari bayi prematur dengan sindrom gawat nafas sering disertai ikterus, sepsis, diare, dan lain-lain.
Untuk mengatasi hal tersebut maka peneliti harus mempertimbangkan segala aspek yang relevan sebelum menetapkan kriteria inklusi. Sebagai acuan utama adalah pertanyaan penelitian atau hipotesis. Yang sering dipakai sebagai kriteria inklusi adalah diagnosis, jenis kelamin, kelompok umur, serta pasien yang datang dalam periode waktu tertentu.

                        Kriteria eksklusi (kriteria penolakan)
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria eksklusi dapat di ikutsertakan dalam penelitian. Di dalam kriteria eksklusi termasuk kontraindikasi, terdapatnya penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti, kepatuhan pasien, pasien menolak diteliti, dan masalah etik. Seperti halnya kriteria inklusi, kriteria eksklusi harus dinyatakan dengan jelas, dan logis. Jangan misalnya pada kriteria inklusi sudah di sebutkan bahwa di masukkan dalam penelitian ini adalah pasien yang berusia di bawah 1 tahun, pada kriteria eksklusi di tulis : subyek yang berusia 1 tahun atau lebih tidak di sertakan dalam penelitian.
c.    Menetapkan Besar Sampel.
            Suatu hal yang penting dalam uji klinis adalah menentukan besar sampel; di satu sisi harus cukup besar untuk mewakili populasi terjangkau, tetapi di lain sisi harus sesuai dengan dana dan waktu yang tersedia. Jumlah subyek yang terlalu sedikit dapat dianggap tidak etis karena akhirnya hasil penelitian tidak sahih, sebaliknya jumlah subyek yang terlalu banyak juga tidak etis karena menyia-nyiakan pasien dari sumber daya lainnya secara sia-sia. Pada umumnya variabel yang di teliti dalam uji klinis adalah variabel nominal (misalnya proporsi kesembuhan) atau numerik (misalnya penurunan tekanan darah). Keduanya penting diperhatikan dalam penetapan besar sampel. Cara-cara penetapan besar sampel akan dibahas tersendiri dalam Bab 14.
4.    Melakukan pengukuran variabel tabel dasar
           
            Selain identitas pasien, sebelum dilakukan randonisasi perlu pula di catat data demografis, klinis, dan laboratorium relevan dengan pertanyaan penelitian. Data klinis seperti umur, jenis kelamin, diagnosis, dan lain-lain yang relevan dengafrognosis harus di catat, antara lain unutk melihat kesetaraan pel bagai variabel di antara kelompok setelah dilakukan randonisasi. Jangan di lupakan bahwa dalam setiap prosedur pengukuran, prinsip-prinsip pengukuran harus selalu di patuhi.
5.    Melakukan randomisasi
            Aspek yang terpenting di dalam uji klinis, adalah randonisasi. Yang dii maksud randonisasi (bedakan dengan pemilihan sunyek secara random) adalah alokasi acak (random allocation), untuk menentukann subyek penelitian mana yang akan mendapat perlakuan dan mana yang menjadi kontrol. Tujuan utama randonisasi adalah unntuk mengurangi bias seleksi dana perancu (confounding), yakni dengan terbaginya variabel-variabel yang tak di teliti secara se imbang pada kelompok yang ada. Proses randonisasi yang di lakukan dengan baik, apabila mellibatkan cukup bannyak pasien, biasanya akan menghasilkan kellompok-kelompok dengan variabel-variabel yang sebanding, termasuk variabel perancu, baik yang sudah di ketahui maupun yang tidak di ketahui. Dengan demikian maka apabila terdapat perbedaan unsur terapi, perbedaan tersebut semata-mata di sebabkan oleh karena oerbedaan perlakuan, dan bukan karena perbedaan karakteristik subyek pada kedua kelompok. Di jumpai pelbagai jenis cara randonisasi yaitu:
a.    Randomisasi Sederhana (Simple Randomization)
            Untuk uji  uji klinis dengan dua kelompok subyek, cara acak dengan dengan melemparkan mata uang logam dapat dipakai. Tetapi cara ini terasa kaku, memakan waktu, dan tidak andal, maka para peneliti lebih menganjurkan penggunaan tabel random
            Keuntungan randomisasi sederhana ini adalah tiap subyek tidak dapat diduga akan memperoleh perlakuan apa, dan bila jumlah subyek cukup banyak maka jumlah kelompok akan sebanding. Tetapi suatu uji klinis biasanya mempunyai batas jumlah subyek; bila jumlah subyek hanya sedikit, misalnya 20 orang, maka mungkin akan dapat ditemukan 8 orang kelompok A dan 12 orang kelompok B, suatu perbandingan yang tidak seimbang.
            Jumlah subyek dalam kelompok biasanya seimbang bila jumlah subyek total lebih dari 200 orang. Bila proses randomisasi ternyata menghasilkan kelompok-kelompok yang tidak seimbang,khususnya dalam variabel prognostik yang penting, sebagia ahli menyebutnya sebagai kegagalan randomisasi (failure of randomization process). Nama ini tidak tepat bila prosedur randomisasi memang telah dilaksanakan dengan cara yang benar; tidak ada yang gagal, karena kemungkinan ketidakseimbangan memang selalu ada. Bila hal tersebut terjadi, maka perlu dilakukan penyesuaian dalam analisis untuk menyingkirkan perancu yang tidak tersingkirkan dalam randomisasi, yakni analsis multivariat.
b.    Randomisasi Blok
            Untuk menghindari ketidakseimbangan,dapat dilakukan cara randomisasi blok. Cara ini bertujuan untuk membuat setiap kelompok mempunyai jumlah subyek yang sebanding pada suatu saat. Bila kita mempunyai 400 subyek, dengan cara randomisasi sederhana diharapkan pada akhir randomisasi akan terdapat jumlah subyek yang seimbang pada kedua kelompok, katakanlah pada kelompok terapi 406 orang, pada kelompok kontrol 394 orang. Namun bila ingin dilakukan analisi interim (analisis sebelum penelitian berakhir), misalnya pada saat ¼ jumlah subyek (100 orang) telah diteliti,mungkin pada kelompok terapi terdapat 42 orang dan pada kelompok kontrol 58 orang, keadaan yang tidak seimbang. Randomisasi dalam blok dapat mengatasi keadaan tersebut.
c.    Randomisasi Dalam Srata (Stratified Randomization)
           Bila pada uji klinis terdapat factor prognosis yang penting yang akan mempengaruhi hasil penelitian, maka perlu dilakukan stratifikasi prognosis.Hal ini  dimaksudkan agar diperoleh sub kelompok (strata) yang lebih homogeny. Randomisasi dilakukan pada setiap strata secara terpisah, kemudian subyek yang terpilih digabungkan kembali dalam kelompok yang sesuai.
Cara melakukan randomisasi harus ditulis baik pada usulan maupun pada laporan penelitian. Melakukan randomisasi. Cara yang terbaik adalah dengan table angka random, Karena table ini mudah diperoleh dimana-mana, maka sedikit alasan untuk membenarkan penggunaan cara lainnya. Randomisasi dengan program computer juga memberikan hasil yang baik. Randomisasi dengan program computer ini sering disebut sebagai pseudorandomisasi. Karena ini disusun bukan berdasarkan proses random, namun member hasil yang nilainya sama dengan yang diperoleh dengan proses random.
6.    Melakukan intervensi
Ketersamaan (masking, blinding)
Alih-alih istilah pembutaan (blinding), kami lebih menyukai istilah ketersamaran (masking) untuk menghindari kerancuan bila substansi penelitian menyangkut masalah penglihatan atau visus. Ketersamaran bertujuan untuk menghindarkan bias, baik yang berasal dari peneliti, subyek, maupun evaluator penelitian. Oleh karena bias dapat terjadi diberbagai bagian uji klinis, maaka ketersamaran juga harus diupayakan pada berbagai bagian uji klinis, seperti pada saat randomisasi, alokasi subyek, pelaksanaan uji klinis, pengukuran, dan evaluasi hasil.
Salah satu tekhnik ketersamaran yang banyak dipakai dalam fase intervensi, baik pada desain pararel ataupun desain menyilang, adalah penggunaan placebo, yang diberikan pada kelompok control. Apabila dipergunakan placebo maka perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini :
a.    Plaswebo dapat dipergunakan apabila belum ada pengobatan untuk penyakit yang diteliti. Apabila pengobatan yang diteliti merupakan tambahan pada regimen standar yang sudah ada , maka placebo juga dapat digunakan.
b.    Placebo diperlukan terutama apabila hasil pengobatan bersifat subyektif, misalnya berkurangnya rasa sakit, perubahan gambaranradiologis dan lain sebagainya.apabila efek yang dinilai bersifat obyektif, misalnya kadar kimia darah, maka kepentingan placebo tidak terlalu penting.
c.    Placebo lebih aman dipergunakan untuk penyakit yang tidak berat. Pada penyakit berat, lebih-lebih bila sudah terdapat indikasi sebelumnya bahwa obat yang diteliti bermanfaat, penggunaan placebo harus dipertanyakan.
Maksud penggunaan placebo adalah untuk mengurangi atau menyingkirkan bias, baik dari sisi peneliti maupun dari sisi subyek penelitian. Dari sisi peneliti, apabila ia mengetahui jenis obat yang digunakan, mungkin ia cenderung untuk melakukan penilaian atatu tindakan yang menguntungkan subyek yang diberi obat yang diteliti. Dari sisi subyek, ketersamaan dengan menggunakan placebo akan mengurangi atau meniadakan pengaruhefek placebo, yakni perasaan mengalami suatu efek padahal efek tersebut itu tidak ada.
Jenis ketersamaan
a.    Uji klinis terbuka(open trial)
Pada uji klinis terbuka, baik peneliti maupun subyek mengetahui pengobatan yang diberikan. Desain ini seringkali dilakukan untuk penelitian pendahuluan, yang akan dilanjutkan dengan desain acak tersamar ganda, atau apabila secara teknis ketersamaran tidak mungkindilaksanakan. (missal study untuk membandingkan mastektomi sederhana plus radiasi dengan mastektomi radikalpada pengobatan kanker payudara.
b.    Tersamar tunggal (single mask)
Pada desain ini subyek tidak tahu pengobatan yang diberikan, sedangkan peneliti mengetahuinya. Secara teoritis hal yang sebaliknya juga dapat dilakukan (subyek mengetahui sedangkan dokter tidak), namun hal ini jarang, kerugian pada uji klinis tersamar tunggal adalah seperti pada uji klinis terbuka , terjadinya bias(terutama bias pengukuran)oleh karena peneliti dapat memberikan perhatian lebih pada kelompok perlakuan.
c.    Tersamar ganda (double mask)
Pada desain ini baik peneliti maupun subyek tidak mengetahui pengobatan yang diberikan , hal ini akan mengurangi terjadinya berbagai bias dan dianggap sebagai baku emas untuk uji klinis.
d.    Triple mask
Pada desain ini baik subyek, peneliti, maupun evaluator tidak tahu obat apa yang diberikan. Sebagian ahli tidak mempergunakan istilah ini, meski terdapat tiga komponen ketersamaran, cukup disebut sebagai tersamar ganda saja.

7.    Mengukur variable efek
Variable tergantung (efek) yang akan diukur harus sudah direncanakan sejak awal. Sesuai dengan skala variable.maka variable yang dinilai dapat berskala nominal, ordinal, atau numeric. Criteria penilaian juga sudah harus dengan jelas dituliskan pada protocol penelitian.
Contoh : pada uji klinis terhadap obat X untuk pengobatan meningitis tuberkulosa, efek yang dinilai adalah kesembuhan. Dalam hal ini skala variable tergantung adalah nominal dikotom (sembuh atau tidak sembuh). Pada penelitian obat Y untuk menurunkan tekanan darah, variable yang dinilai adalah berskala numeric. (tekanan darah diastolic, dalam MMHg)

8.    Menganalisa data
Analisis data uji klinis harus dilaksanakan dengan menggunakan uji statistic yang sesuai, yang sudah ditulis dalam usulan penelitian. Uji hipotesis yang akan digunakan harus pula ditetapkan sewaktu melaksanakan uji klinis. Hal-hal yang perlu difikirkan untuk uji hipotesis adalah skala pengukuran, distribusi sampel, besar sampel, jumlah kelompok, serta jumlah variable.
a.    pada uji klinis dengan variable bebas berskala nominal 2 kelompok (obat baru-obat standaar) dan variable efek nominal (sembuh-tidak sembuh), uji hipotesis dilakukan dengan uji kuadrat. Perlu diperhatikan bahwa apabila sampel dipilih secara independen, sedang bila sampel dipilih secara serasi harus dipergunakan uji kai-kuadrat untuk kelompok berpasangan(uji. Mc.nemar)
b.    bila variable bebas nominal dua kelompok (misalnya lelaki-perempuan)dan variable efek berskala numeric(misalnya kadar kolestrol), maka uji yang dipergunakan adalah uji T, yakni uji T untuk 2 kelompok independentatau uji T untuk kelompok berpasangan. Apabila distribusi data tidak normal dipakai uji non parametric.
c.    Bila variable bebas berskala nominal tetapi lebih dari dua kelompok, sedangkan variable efek berskala numeric, maka dipergunakan analisis varians(anova)
d.    Bila terjadi perbadaan lama pengamatan dari masing-masing subyek, maka dipergunakan metode analisis harapan hidup(survival analisis) yang akan dibahas tersendiri.

E.   Keuntungan Dan Kerugian Uji Klinis
Keuntungan Uji Klinis
Secara epidemiologi sebenarnya uji klinis terasa agak kaku, walaupun demikian uji klinis mempunyai keuntungan antara lain:
1.      Dengan dilakukannya randominasi maka dapat dikontrol secara efektif, oleh karena factor confounding akan terbagi secara seimbang diantara kedua kelompok subyek.
2.      Criteria inklusi, perlakuan dan outcome telah ditentuakan terlebih dahulu.
3.      Statistic akan lebih efektif, oleh karena :
a.       Jumlah kelompok perlakuan dan control sebanding
b.      Kekuatan atau power statistic tinggi
4.      Uji klinis secara teori sangat menguntungkan oleh karena banyak metode statistic harus berdasarkan pemilihab subyek secara random.
5.      Kelompok subyek merupakan kelompok sebanding sehingga intervensi dari luar setelah randominasi tidak banyak berpengaruh terhadap hasil penelitian selama intervensi tersebut mengenai kedua kelompok subyek.
KERUGIAN
1.      Desain dan pelaksanaan uji klinis kompleks dan mahal
2.      Uji klinis mungkin dilakukan dengan seleksi tertentu sehingga tidak representative  terhadap populasi terjangkau atau populasi target.
3.      Uji klinis paling sering dihadapkan kepada masalah etik, misalnya apakah etis bila kita memberikan pengobatan pada kelompok perlakuan namun tidak mengobati kelompok control.
4.    Kadang-kadang uji klinis sangat tidak praktis

           
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.   Kesimpulan
1.    Uji klinis adalah salah satu jenis penelitian eksperimental, terencana yang dilakukan pada manusia dimana peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subjek penelitian kemudian efek dari penelitian tersebut diukur dan di analisis.

2.    Uji klinis terbagi dalam dua tahapan yakni tahapan satu dilakukan penelitian laboratorium dan tahapan kedua digunakan manusia sebagai subjek penelitian

3.    Desain uji klinis yang paling sering digunakan adalah desain paralel dan desain menyilang

4.    Langkah-langkah pelaksanaan uji klinis

1)    Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis
2)    Menentukan desain uji klinis yang sesuai
3)    Menetapkan subyek penelitian
4)    Mengukur variabel data dasar
5)    Melakukan randomisasi
6)    Melaksanakan perlakuan
7)    Mengukur variabel efek
8)    Menganalisis data
5.    Uji klinis tidak hanya memiliki keuntungan tetapi juga memiliki kerugian




1 comment:

  1. Casino Resort | JW Marriott Hotel and Spa
    Book the JW Marriott 전라남도 출장샵 Hotel and Spa and enjoy 24/7 friendly customer service. We have 동해 출장마사지 multiple dining options 당진 출장마사지 including casual 아산 출장안마 and non-smoking. 충주 출장샵 Rating: 4.4 · ‎878 reviews

    ReplyDelete