BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Pengertian
Uji
klinis adalah salah satu jenis penelitian eksperimental, terencana yang dilakukan
pada manusia dimana peneliti memberikan perlakuan atau intervensi pada subjek
penelitian kemudian efek dari penelitian tersebut diukur dan di analisis.
B.
Penggunaan
Uji
klinis dilakukan untuk membandingkan satu jenis pengobatan dengan pengobatan lainnya
dalam hal ini pengobatan dapat berarti medikamentosa, perasat beda, terapi
psikologis, diet, akupuntur, pendidikan atau intervensi kesehatan masyarakat
dan lain-lain. Uji klinis pada dasarnya merupakan satu rangkaian proses
pengembangan pengobatan baru. Uji klinis dibagi
dalam 2 tahapan, yaitu:
1. Tahapan
1
Pada tahapan ini dilakukan
penelitian laboratorium yang disebut juga sebagai uji pre-klinis, dikerjakan in
vitro dengan menggunakan benatan percobaan. Tujuan penelitian tahapan 1 ini
adalah untuk mengumpulkan informasi farmakologi dan toksikologi dalam rangka
untuk mempersiapkankan penelitian selanjutnya yakni dengan menggunakan manusia
sebagai subjek penelitan
2. Tahapan
2
Pada uji klinis tahapan 2,
digunakan manusia sebagai subjek penelitian. Tahapan ii berdasarkan tujuannya
dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu:
·
Fase 1 :bertujuan untuk meneliti keamanan
serta toleransi pengobatan, dengan mengikutsertakan 20-100 orang subjek
penelitian.
·
Fase II : bertujuan untuk menilai system atau
dosis pengobatan yang paling efektif, biasanya dilaksanakan dengan
mengikutsertakan sebanyak 100-200 subjek penelitian.
·
Fase III : bertujuan untuk mengevaluasi obat
atau cara pengobatan baru dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada
(pengobatan standal). Uji klinis yang banyak dilakukan termasuk dalam fase ini.
Baku emas uji klinis fase III adalah uji klinis acak terkontrol.
·
Fase IV :
bertujuan untuk mengevaluasi obat baru yang telah dipakai dimasyarakat
dalam jangka waktu yang relative lama (5 tahun atau lebih). Fase ini penting
karena terdapat kemungkinan efek samping obat timbul setelah lebih banyak
pemakai. Fase ini disebut juga sebagai uji klinis pascapasar (post marketing).
C. Desain
Uji klinis
Pada uji klinis dilakukan untuk mengetahui hubungan sebab
akibat antara variable bebas (predictor) dengan variabel tergantung (efek)
dalam periode waktu tertentu. Hasil uji klinis ditentukan berdasarkan atas
perbedaan efek yang terjadi pada kelompok perlakuan dengan pada kelompok
control. Efek yang dinilai dapat merupakan kematian, kejadian klinis ataupun
hasil laboratorium dan dapat berskala nominal, ordinal ataupun numeric.
Uji klinis sesungguhnya sangat mirip dengan studi kohort,
karena kelompok perlakuan dan kontrol diikuti diobservasi sampai terjadi efek.
Perbedaanya, pada uji klinis baik alokasi subyek maupun metode perlakuan pada
subyek di tentukan ole peneliti, untuk memastikan bahwa kedua kelompok subyek
sebanding dengan sesedikit mungkin bias. Sedangkan pda studi kohort, peneliti
hanya melakukan observasi tanpa membererikan perlakuan; perbedaan pajanan pada
kelompok yang diteliti dan kelompok
kontrol terjadi secara alamiah.
Terdapat pelbagai bentuk desain uji klinis,dari yang
sederhana sampai yang sangat rumit. Di sini dikemukakan 2 desain yang paling
sering digunakan, yakni:
1.
Desain paralel, merupakan perbandingan
antar kelompok (group comparison),
dapat bersifat pasangan serasi (matched
pairs) atau bukan.
2.
Desain menyilang (cross-over design)
DESAIN PARALEL
Jenis
desain ini paling banyak digunakan, baik pada penyakit akut maupun kronik. Pada
desain ini disusun dua kelompok atau lebih, sedangkan pengobatan pada
kelompok-kelompok tersebut dilakukna secara paralel atau simultan. Yang paling
banyak dilakukan adalah desain paralel dengan dua kelompok; kelompok pertama
memperoleh pengobatan baru, sedangkan kelompok lainnya menerima pengobatan
standar dan berlaku sebagai kontrol.
Untuk memperoleh hasil yang sahih
diperlukan kelompok yang seimbang, terutama dalam hal faktor prognosis yang
penting. Untuk tujuan ini cara yang sering digunakan adalah:
·
Dengan melakukan randomisasi
·
Dengan pemilihan pasangan serasi (matching)
Dengan
kedua cara tersebut diharapkan bahwa pada kedua kelompok semua variabel akan
menjadi sama atau sebanding, kecuali variabel perlakuan. Dengan demikian bila
pada akhir penelitian terjadi perbedaan efek pada kedua kelompok, maka penyebab
perbedaan tersebut adalah akibat perlakuan yang diberikan. Desain paralel tanpa
matching lebih sering digunakan,
karena pada desain dengan matching
untuk mencari subyek yang serasi dalam pelbagai variabel prognosis yang mungkin
berperan seringkali sangat sulit.
DESAIN MENYILANG
Dalam desain ini tiap subyek menjadi
kontrol bagi dirinya. Bentuk yang paling sederhana dengan subyek sebagai
kontrol bagi dirinya sendiri ini disebut sebagai desain before and after sekelompok subyek diberikan perlakuan, hasil
perlakuan dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pada desain menyilang subyek
di randomisasi; kelompok A menerima obat yang diteliti; kelompok B menjadi
kontrol. Setelah waktu tertentu, jenis pengobatan dipertukarkan, dan
sebaliknya. Desain ini di terapkan pada penyakit kronik yang relatif stabil
seperti hipertensi, asma, hiperlipidemia. Keuntungannya adalah dapat
menyingkirkan variasi individu hingga lebih peka menemukan perbedaan, dan
mengurangi subyek yang diperlukan (separuh dari desain paralel). Namun waktu
penelitian menjadi lebih lama dengan kemungkinan drop out yang lebih besar pula.
` Beberapa hal yang perlu diperhatikan
pada desain cross-over.
a.
Terdapatnya efek carry over yaitu efek obat pertama belum hilang pada saat dimulai
pengobatan kedua.
b.
Terdapatnya efek order, yaitu terjadi perubahan derajat berat penyakit, keadaan
lingkungan selama penelitian berlangsung.
c.
Terdapatnya periode wash out yaitu waktu untuk menghilangkan efek obat awal, sebelum
pengobatan kedua dimulai. Lama periode wash
out ini bergantung kepada sifat kinetik obat, dapat hanya beberpa jam
(misal dopamin) atau beberapa minggu ( misal fenobarbital).
D. LANGKAH-LANGKAH
PELAKSANAAN UJI KLINIS
Terdapat
8 langkah dalam uji klinis, yaitu:
1. Merumuskan
pertanyaan penelitian dan hipotesis
2. Menentukan
desain uji klinis yang sesuai
3. Menetapkan
subyek penelitian
4. Mengukur
variabel data dasar
5. Melakukan
randomisasi
6. Melaksanakan
perlakuan
7. Mengukur
variabel efek
8. Menganalisis
data
1. Menetapkan Pertanyaan
Penelitian Dan Hipotesis
Menuangkan desain uji klinis yang
samar-samar menjadi rencana kegiatan yang nyata tidak mudah, bahkan sangat
kmopleks. Konsep awal yang berisi skema umum, memerlukan penjabaran lebih
spesifik. Rumusan masalah serta hipotesis yang sesuai harus dituliskan, dengan
memperlihatkan hubungan antar variabel yang diteliti.
2. Menentukan Desain
Berdasarkan hipotesis yang dibangun dari
pertanyaan penelitian, maka dapat ditetapkan jenis desain yang akan
dipergunakan, apakah akan dipakai desain paralel atau desain menyilang, ataukah
dengan desain lain yang lebih kompleks. Dalam praktek, bilamana mungkin desain
yang dipilih adalah desain yang paling sederhana yang dapat menjawab pertanyaan
penelitian, karena biasanya desain yang sederhana memberikan hasil yang lebih langsung dan mudah diinterpretasi,
sedangkan desain yang lebih kompleks sering memberikan hasil yang tidak mudah
diinterpretasi oleh sebagian besar klinikus.
3. Menetapkan Subyek
Penelitian
a. Menetapkan
Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah
bagian dari populasi target yang merupakan sumber subyek yang akan diteliti.
Karakteristik subyek harus sesuai dengan pertanyaan penelitian dan efek yang
akan diamati. Pada rncan uji klinis tentang manaat antibiotik baru terhadap
sepsis neonaturum, misalnya, populasi terjangkaunya adalah bayi dengan sepsis
yang dirawat dalam kurun waktu yang tersedia.
b. Menetukan Kriteria Pemilihan=Eligibility Criteria
Kriteria pemilihan
membatasi karakteristik populasi terjangkau yang memenuhi persyaratn untuk uji klinis.
Kriteria ini harus dijelaskan secara rinci sejak awal perencanaan, oleh karena
penting untuk menyusun desain
penelitian, pemilihan subjek, dan untuk generalisasi ke dalam populasi.
Kriteria pemilihan terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
Kriteria Inklusi
(Kriteria Penerimaan)
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum
yang harus di penuhi oleh subyek agar dapat diikutsertakan ke dalam penelitian.
Persyaratan pada kriteria inklusi biasanya mencakup karakteristik klinis,
demografis, geografis dan periode waktu.
Dalam menetapkan kriteria inklusi harus
diperhitungkan kemampulaksanaan serta kemungkinan untuk generalisasi, serta
spesifitas yang diperlukan. Kriteria inklusi yang amat longgar akan mempermudah
mendapatkan subyek penelitian dan lebih mudah menggenaralisasi ke dalam
populasi, namun akan dijumpai subyek yang sangat heterogen. Dalam uji klinis
untuk pasien pertusis, apabila kriteria inklusi hanya menetapkan semua anak
dengan pertusis, maka akan diperoleh kasus dari neonatus sampai remaja.
Sebaliknya bila kriteria inklusi dibuat terlalu ketat maka akan diperoleh
pasien yang homogen, namun akan sulit untuk memperoleh kasus, dan sulti untuk melakukan
generalisasi. Pada studi sindrom gangguan nafas pada neonatus, bila dibuat
kriterian inklusi: neonatus kurang bulan yang menderita sindrom gangguan nafas
tetapi tidak menderita sepsis, diare, ikterus dan seterusnya, maka sulit untuk
memperoleh kasus yang diteliti. Generalisasi hasil penelitian menjadi sulit,
oleh karena dalam kenyataan sehari-hari bayi prematur dengan sindrom gawat
nafas sering disertai ikterus, sepsis, diare, dan lain-lain.
Untuk mengatasi hal tersebut maka peneliti harus
mempertimbangkan segala aspek yang relevan sebelum menetapkan kriteria inklusi.
Sebagai acuan utama adalah pertanyaan penelitian atau hipotesis. Yang sering
dipakai sebagai kriteria inklusi adalah diagnosis, jenis kelamin, kelompok
umur, serta pasien yang datang dalam periode waktu tertentu.
Kriteria
eksklusi (kriteria penolakan)
Kriteria eksklusi adalah keadaan yang
menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria eksklusi dapat di ikutsertakan dalam
penelitian. Di dalam kriteria eksklusi termasuk kontraindikasi, terdapatnya
penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti, kepatuhan pasien,
pasien menolak diteliti, dan masalah etik. Seperti halnya kriteria inklusi,
kriteria eksklusi harus dinyatakan dengan jelas, dan logis. Jangan misalnya
pada kriteria inklusi sudah di sebutkan bahwa di masukkan dalam penelitian ini
adalah pasien yang berusia di bawah 1 tahun, pada kriteria eksklusi di tulis :
subyek yang berusia 1 tahun atau lebih tidak di sertakan dalam penelitian.
c. Menetapkan
Besar Sampel.
Suatu
hal yang penting dalam uji klinis adalah menentukan besar sampel; di satu sisi
harus cukup besar untuk mewakili populasi terjangkau, tetapi di lain sisi harus
sesuai dengan dana dan waktu yang tersedia. Jumlah subyek yang terlalu sedikit
dapat dianggap tidak etis karena akhirnya hasil penelitian tidak sahih,
sebaliknya jumlah subyek yang terlalu banyak juga tidak etis karena
menyia-nyiakan pasien dari sumber daya lainnya secara sia-sia. Pada umumnya
variabel yang di teliti dalam uji klinis adalah variabel nominal (misalnya
proporsi kesembuhan) atau numerik (misalnya penurunan tekanan darah). Keduanya
penting diperhatikan dalam penetapan besar sampel. Cara-cara penetapan besar
sampel akan dibahas tersendiri dalam Bab 14.
4. Melakukan
pengukuran variabel tabel dasar
Selain
identitas pasien, sebelum dilakukan randonisasi perlu pula di catat data
demografis, klinis, dan laboratorium relevan dengan pertanyaan penelitian. Data
klinis seperti umur, jenis kelamin, diagnosis, dan lain-lain yang relevan
dengafrognosis harus di catat, antara lain unutk melihat kesetaraan pel bagai
variabel di antara kelompok setelah dilakukan randonisasi. Jangan di lupakan
bahwa dalam setiap prosedur pengukuran, prinsip-prinsip pengukuran harus selalu
di patuhi.
5. Melakukan
randomisasi
Aspek
yang terpenting di dalam uji klinis, adalah randonisasi. Yang dii maksud
randonisasi (bedakan dengan pemilihan sunyek secara random) adalah alokasi acak
(random allocation), untuk menentukann subyek penelitian mana yang akan
mendapat perlakuan dan mana yang menjadi kontrol. Tujuan utama randonisasi
adalah unntuk mengurangi bias seleksi dana perancu (confounding), yakni dengan
terbaginya variabel-variabel yang tak di teliti secara se imbang pada kelompok
yang ada. Proses randonisasi yang di lakukan dengan baik, apabila mellibatkan
cukup bannyak pasien, biasanya akan menghasilkan kellompok-kelompok dengan
variabel-variabel yang sebanding, termasuk variabel perancu, baik yang sudah di
ketahui maupun yang tidak di ketahui. Dengan demikian maka apabila terdapat
perbedaan unsur terapi, perbedaan tersebut semata-mata di sebabkan oleh karena
oerbedaan perlakuan, dan bukan karena perbedaan karakteristik subyek pada kedua
kelompok. Di jumpai pelbagai jenis cara randonisasi yaitu:
a.
Randomisasi Sederhana (Simple Randomization)
Untuk uji uji klinis dengan dua kelompok subyek, cara
acak dengan dengan melemparkan mata uang logam dapat dipakai. Tetapi cara ini
terasa kaku, memakan waktu, dan tidak andal, maka para peneliti lebih
menganjurkan penggunaan tabel random
Keuntungan randomisasi sederhana ini
adalah tiap subyek tidak dapat diduga akan memperoleh perlakuan apa, dan bila
jumlah subyek cukup banyak maka jumlah kelompok akan sebanding. Tetapi suatu
uji klinis biasanya mempunyai batas jumlah subyek; bila jumlah subyek hanya sedikit,
misalnya 20 orang, maka mungkin akan dapat ditemukan 8 orang kelompok A dan 12
orang kelompok B, suatu perbandingan yang tidak seimbang.
Jumlah subyek dalam kelompok
biasanya seimbang bila jumlah subyek total lebih dari 200 orang. Bila proses
randomisasi ternyata menghasilkan kelompok-kelompok yang tidak
seimbang,khususnya dalam variabel prognostik yang penting, sebagia ahli
menyebutnya sebagai kegagalan randomisasi (failure of randomization process).
Nama ini tidak tepat bila prosedur randomisasi memang telah dilaksanakan dengan
cara yang benar; tidak ada yang gagal, karena kemungkinan ketidakseimbangan
memang selalu ada. Bila hal tersebut terjadi, maka perlu dilakukan penyesuaian
dalam analisis untuk menyingkirkan perancu yang tidak tersingkirkan dalam
randomisasi, yakni analsis multivariat.
b.
Randomisasi Blok
Untuk menghindari
ketidakseimbangan,dapat dilakukan cara randomisasi blok. Cara ini bertujuan
untuk membuat setiap kelompok mempunyai jumlah subyek yang sebanding pada suatu
saat. Bila kita mempunyai 400 subyek, dengan cara randomisasi sederhana
diharapkan pada akhir randomisasi akan terdapat jumlah subyek yang seimbang
pada kedua kelompok, katakanlah pada kelompok terapi 406 orang, pada kelompok
kontrol 394 orang. Namun bila ingin dilakukan analisi interim (analisis sebelum
penelitian berakhir), misalnya pada saat ¼ jumlah subyek (100 orang) telah
diteliti,mungkin pada kelompok terapi terdapat 42 orang dan pada kelompok
kontrol 58 orang, keadaan yang tidak seimbang. Randomisasi dalam blok dapat mengatasi
keadaan tersebut.
c.
Randomisasi Dalam Srata (Stratified
Randomization)
Bila pada uji klinis terdapat
factor prognosis yang penting yang akan mempengaruhi hasil penelitian, maka
perlu dilakukan stratifikasi prognosis.Hal ini
dimaksudkan agar diperoleh sub kelompok (strata) yang lebih homogeny.
Randomisasi dilakukan pada setiap strata secara terpisah, kemudian subyek yang
terpilih digabungkan kembali dalam kelompok yang sesuai.
Cara melakukan randomisasi
harus ditulis baik pada usulan maupun pada laporan penelitian. Melakukan
randomisasi. Cara yang terbaik adalah dengan table angka random, Karena table
ini mudah diperoleh dimana-mana, maka sedikit alasan untuk membenarkan
penggunaan cara lainnya. Randomisasi dengan program computer juga memberikan
hasil yang baik. Randomisasi dengan program computer ini sering disebut sebagai
pseudorandomisasi. Karena ini disusun bukan berdasarkan proses random, namun
member hasil yang nilainya sama dengan yang diperoleh dengan proses random.
6.
Melakukan
intervensi
Ketersamaan (masking,
blinding)
Alih-alih istilah pembutaan (blinding), kami
lebih menyukai istilah ketersamaran (masking) untuk menghindari kerancuan bila
substansi penelitian menyangkut masalah penglihatan atau visus. Ketersamaran
bertujuan untuk menghindarkan bias, baik yang berasal dari peneliti, subyek,
maupun evaluator penelitian. Oleh karena bias dapat terjadi diberbagai bagian
uji klinis, maaka ketersamaran juga harus diupayakan pada berbagai bagian uji
klinis, seperti pada saat randomisasi, alokasi subyek, pelaksanaan uji klinis,
pengukuran, dan evaluasi hasil.
Salah satu tekhnik ketersamaran yang banyak
dipakai dalam fase intervensi, baik pada desain pararel ataupun desain
menyilang, adalah penggunaan placebo, yang diberikan pada kelompok control.
Apabila dipergunakan placebo maka perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini :
a.
Plaswebo dapat dipergunakan apabila belum ada
pengobatan untuk penyakit yang diteliti. Apabila pengobatan yang diteliti
merupakan tambahan pada regimen standar yang sudah ada , maka placebo juga
dapat digunakan.
b.
Placebo diperlukan terutama apabila hasil
pengobatan bersifat subyektif, misalnya berkurangnya rasa sakit, perubahan
gambaranradiologis dan lain sebagainya.apabila efek yang dinilai bersifat
obyektif, misalnya kadar kimia darah, maka kepentingan placebo tidak terlalu
penting.
c.
Placebo lebih aman dipergunakan untuk
penyakit yang tidak berat. Pada penyakit berat, lebih-lebih bila sudah terdapat
indikasi sebelumnya bahwa obat yang diteliti bermanfaat, penggunaan placebo harus
dipertanyakan.
Maksud
penggunaan placebo adalah untuk mengurangi atau menyingkirkan bias, baik dari
sisi peneliti maupun dari sisi subyek penelitian. Dari sisi peneliti, apabila
ia mengetahui jenis obat yang digunakan, mungkin ia cenderung untuk melakukan
penilaian atatu tindakan yang menguntungkan subyek yang diberi obat yang
diteliti. Dari sisi subyek, ketersamaan dengan menggunakan placebo akan
mengurangi atau meniadakan pengaruhefek placebo, yakni perasaan mengalami suatu
efek padahal efek tersebut itu tidak ada.
Jenis
ketersamaan
a. Uji
klinis terbuka(open trial)
Pada uji klinis terbuka, baik peneliti maupun
subyek mengetahui pengobatan yang diberikan. Desain ini seringkali dilakukan
untuk penelitian pendahuluan, yang akan dilanjutkan dengan desain acak tersamar
ganda, atau apabila secara teknis ketersamaran tidak mungkindilaksanakan.
(missal study untuk membandingkan mastektomi sederhana plus radiasi dengan
mastektomi radikalpada pengobatan kanker payudara.
b. Tersamar
tunggal (single mask)
Pada desain ini subyek tidak tahu pengobatan
yang diberikan, sedangkan peneliti mengetahuinya. Secara teoritis hal yang
sebaliknya juga dapat dilakukan (subyek mengetahui sedangkan dokter tidak),
namun hal ini jarang, kerugian pada uji klinis tersamar tunggal adalah seperti
pada uji klinis terbuka , terjadinya bias(terutama bias pengukuran)oleh karena
peneliti dapat memberikan perhatian lebih pada kelompok perlakuan.
c. Tersamar
ganda (double mask)
Pada desain ini baik peneliti maupun subyek
tidak mengetahui pengobatan yang diberikan , hal ini akan mengurangi terjadinya
berbagai bias dan dianggap sebagai baku emas untuk uji klinis.
d. Triple
mask
Pada desain ini baik subyek, peneliti, maupun
evaluator tidak tahu obat apa yang diberikan. Sebagian ahli tidak mempergunakan
istilah ini, meski terdapat tiga komponen ketersamaran, cukup disebut sebagai
tersamar ganda saja.
7.
Mengukur
variable efek
Variable tergantung (efek)
yang akan diukur harus sudah direncanakan sejak awal. Sesuai dengan skala
variable.maka variable yang dinilai dapat berskala nominal, ordinal, atau
numeric. Criteria penilaian juga sudah harus dengan jelas dituliskan pada
protocol penelitian.
Contoh : pada uji klinis terhadap obat X
untuk pengobatan meningitis tuberkulosa, efek yang dinilai adalah kesembuhan.
Dalam hal ini skala variable tergantung adalah nominal dikotom (sembuh atau
tidak sembuh). Pada penelitian obat Y untuk menurunkan tekanan darah, variable
yang dinilai adalah berskala numeric. (tekanan darah diastolic, dalam MMHg)
8.
Menganalisa
data
Analisis data uji klinis
harus dilaksanakan dengan menggunakan uji statistic yang sesuai, yang sudah
ditulis dalam usulan penelitian. Uji hipotesis yang akan digunakan harus pula
ditetapkan sewaktu melaksanakan uji klinis. Hal-hal yang perlu difikirkan untuk
uji hipotesis adalah skala pengukuran, distribusi sampel, besar sampel, jumlah
kelompok, serta jumlah variable.
a.
pada uji klinis dengan variable bebas
berskala nominal 2 kelompok (obat baru-obat standaar) dan variable efek nominal
(sembuh-tidak sembuh), uji hipotesis dilakukan dengan uji kuadrat. Perlu
diperhatikan bahwa apabila sampel dipilih secara independen, sedang bila sampel
dipilih secara serasi harus dipergunakan uji kai-kuadrat untuk kelompok
berpasangan(uji. Mc.nemar)
b.
bila variable bebas nominal dua kelompok
(misalnya lelaki-perempuan)dan variable efek berskala numeric(misalnya kadar
kolestrol), maka uji yang dipergunakan adalah uji T, yakni uji T untuk 2
kelompok independentatau uji T untuk kelompok berpasangan. Apabila distribusi
data tidak normal dipakai uji non parametric.
c.
Bila variable bebas berskala nominal tetapi
lebih dari dua kelompok, sedangkan variable efek berskala numeric, maka
dipergunakan analisis varians(anova)
d. Bila
terjadi perbadaan lama pengamatan dari masing-masing subyek, maka dipergunakan
metode analisis harapan hidup(survival analisis) yang akan dibahas tersendiri.
E. Keuntungan
Dan Kerugian Uji Klinis
Keuntungan
Uji Klinis
Secara
epidemiologi sebenarnya uji klinis terasa agak kaku, walaupun demikian uji
klinis mempunyai keuntungan antara lain:
1.
Dengan dilakukannya randominasi maka
dapat dikontrol secara efektif, oleh karena factor confounding akan terbagi
secara seimbang diantara kedua kelompok subyek.
2.
Criteria inklusi, perlakuan dan outcome
telah ditentuakan terlebih dahulu.
3.
Statistic akan lebih efektif, oleh
karena :
a. Jumlah
kelompok perlakuan dan control sebanding
b. Kekuatan
atau power statistic tinggi
4.
Uji klinis secara teori sangat
menguntungkan oleh karena banyak metode statistic harus berdasarkan pemilihab
subyek secara random.
5.
Kelompok subyek merupakan kelompok
sebanding sehingga intervensi dari luar setelah randominasi tidak banyak
berpengaruh terhadap hasil penelitian selama intervensi tersebut mengenai kedua
kelompok subyek.
KERUGIAN
1. Desain
dan pelaksanaan uji klinis kompleks dan mahal
2. Uji
klinis mungkin dilakukan dengan seleksi tertentu sehingga tidak
representative terhadap populasi
terjangkau atau populasi target.
3. Uji
klinis paling sering dihadapkan kepada masalah etik, misalnya apakah etis bila
kita memberikan pengobatan pada kelompok perlakuan namun tidak mengobati
kelompok control.
4. Kadang-kadang
uji klinis sangat tidak praktis
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Uji
klinis adalah salah satu jenis penelitian eksperimental, terencana yang
dilakukan pada manusia dimana peneliti memberikan perlakuan atau intervensi
pada subjek penelitian kemudian efek dari penelitian tersebut diukur dan di
analisis.
2.
Uji klinis terbagi dalam dua tahapan yakni
tahapan satu dilakukan penelitian laboratorium dan tahapan kedua digunakan
manusia sebagai subjek penelitian
3.
Desain uji klinis yang paling sering
digunakan adalah desain paralel dan desain menyilang
4.
Langkah-langkah pelaksanaan uji klinis
1) Merumuskan
pertanyaan penelitian dan hipotesis
2) Menentukan
desain uji klinis yang sesuai
3)
Menetapkan subyek penelitian
4) Mengukur
variabel data dasar
5) Melakukan
randomisasi
6) Melaksanakan
perlakuan
7) Mengukur
variabel efek
8)
Menganalisis data
5.
Uji klinis tidak hanya memiliki keuntungan
tetapi juga memiliki kerugian
Casino Resort | JW Marriott Hotel and Spa
ReplyDeleteBook the JW Marriott 전라남도 출장샵 Hotel and Spa and enjoy 24/7 friendly customer service. We have 동해 출장마사지 multiple dining options 당진 출장마사지 including casual 아산 출장안마 and non-smoking. 충주 출장샵 Rating: 4.4 · 878 reviews